Abu Nawas dengan Bapaknya

Ini suatu cerita tatkala zaman raja Harunurrasyid di dalam negeri Bagdad. Baginda itu amat adil perintahnya. Adalah seorang penghulunya, bernama Maulana. Ia mempunyai seorang anak laki-laki, yaitu Abu Nawas yang bekerja di istana raja itu. Setelah beberapa lamanya Abu Nawas mengabdikan diri kepada raja yang adil itu, terkenal pula lah namanya seperti bapaknya. Akan tetapi sifat terkenal keduanya itu tiadalah sama...

Syahdan penghulu (kadi) itu pun hampirlah akan kembali ke Rahmatullah Taala. Maka disuruhnya panggil anaknya yang bernama Abu Nawas itu. Anak itu pun datanglah dengan segera mendapatkan bapaknya itu.

Kata bapaknya kepada Abu Nawas, “Hai, Anakku! Adapun aku ini hampirlah akan meninggalkan dunia. Ciumlah olehmu telingaku kanan dan kiri.

Setelah itu Abu Nawas pun segera mencium telinga bapaknya. Adapun bau telinga bapaknya yang sebelah kanan itu terlalu harum dan yang sebelah kiri sangat busuk baunya. Setelah sudah, maka kata bapaknya itu kepadanya, “Hai, Anakku, Abu Nawas, dapatkah engkau mencium baunya itu?”

Jawab Abu Nawas, “Dapat juga hamba mencium baunya. Yang kanan itu hamba cium sangat harum baunya dan yang sebelah kiri sangatlah busuknya.”

Maka kata bapaknya, “Hai, Anakku, pada suatu hari datang dua orang kepadaku minta bicarakan dia akan daku. Yang seorang perkataannya aku dengarkan dan yang seorang lagi tidak, dan inilah halnya orang yang menjadi kadi. Jika engkau kelak suka menjadi kadi pula, demikianlah halmu, dan jika engkau tiada suka, maka buatlah helah akan dirimu kepada Sultan Harunurrasyid. Akan tetapi tak dapattiada tentu amirulmukminin hendak juga menjadikan engkau kadi.”

Kalakian maka Abu Nawas pun diamlah. Beberapa hari kemudian bapak Abu Nawas sungguhlah kembali ke Rahmatullah Taala. Kafan dan nisan sudah dibeli oleh Abu Nawas. Maka ia pun pergilah masuk ke dalam istana menghadap Sultan Harunurrasyid akan memberitahukan kalau bapaknya sudah mati. Demi didengar amirulmukminin Sultan Harunurrasyid hal Abu Nawas datang itu, maka sabda Baginda, “Hai, Abu Nawas, pergilah engkau kuburkan bapakmu seperti adat Maulana Kadi juga.”

Abu Nawas pun pergilah menguburkan bapaknya, seperti kadi perbuatannya. Setelah sudah, kembalilah Abu Nawas ke rumahnya. Hatinya amat masygul, pertama oleh karena kematian bapaknya itu, kedua sebab ia akan dijadikan baginda kadi pengganti bapaknya. Apa dayanya, supaya ia jangan menjabat pangkat itu? Maka ia pun berpura-pura membuat kelakuan seperti orang gila. Diambilnya sepotong batang pisang, diperbuatnya seperti kuda, lalu ditungganginya berlari lari dari kubur ayahnya pulang ke rumahnya. Pada hari lain dipanggilnya kanak-kanak terlalu banyak, dibawanya ke kubur ayahnya serta dengan rebana. Maka dipukulnya rebana itu di atas kubur ayahnya. Sekalian orang di dalam negeri itu pun heranlah melihat kelakuan Abu Nawas yang demikian itu. “Sayang sekali Abu Nawas ini menjadi gila,” kata mereka itu sama sendirinya. Maka terdengarlah hal itu kepada Raja Harunurrasyid, lalu disuruhnya seorang hamba memanggil Abu Nawas. Hamba Baginda itu pun menyembah, lalu pergi ke rumah Abu Nawas. Kata hamba raja itu kepada Abu Nawas, “Ada pun kami ini menjunjung titah syah alam kemari ini, Tuan Hamba dipersilahkan oleh syah alam menghadap ke bawah duli Baginda.”
Maka Abu Nawas pun berjalanlah bersama-sama dengan hamba raja itu, melalui dua lapisan kota. Setelah sampai ke hadapan raja, tunduklah Abu Nawas, lalu menyembah. Maka sabda raja Harunurrasyid kepadanya, “Hai, Abu Nawas, telah lama engkau tak datang-datang kemari. Apa sebabnya? Sekarang ini engkau hendak kujadikan kadi pengganti ayahmu.”

Abu Nawas lalu berbuat gila atas dirinya, tiada karuan perkataannya. Ujarnya, sambil berangkat, “Ya, Tuanku Raja, terasi asalnya udang.”

Tatkala didengar oleh Raja Harunurrasyid akan perkataan Abu Nawas itu, maka pikirnya, “Heranlah aku melihat kelakuan Abu Nawas berkata tiada karuan ini.” Baginda pun marahlah kepada Abu Nawas itu, lalu disuruhnya tangkap dan dititahkannya sahayanya memukul Abu Nawas dua puluh lima kali.

Setelah sudah, keluarlah Abu Nawas dari dalam kota itu. Ketika ia sampai ke pintu kota yang selapis, Abu Nawas pun ditahan oleh penunggu pintu kota itu serta dimintanya apa-apa perolehannya daripada anugerah Baginda tadi itu. Kata penunggu pintu itu kepada Abu Nawas, “Tempo hari tatkala engkau hendak masuk di sini kita telah berjanji. Sudah lupakah engkau akan perjanjian kita itu? Kalau engkau ada dikaruniai apa-apa oleh Baginda engkau berkata: Aku bagi dua; engkau satu bagian, aku satu bagian. Sekarang mana janjimu itu?”

Maka Abu Nawas ingatlah akan perjanjian tadi itu. Dengan segera diambilnya sepotong kayu yang agak besar, dipukulkannya kepada penunggu pintu kota itu dua puluh lima kali. Bukan kepalang sakitnya. Abu Nawas lalu dilepaskan oleh penunggu pintu ke luar kota, terus pulang ke rumahnya.

Akan tetapi penunggu pintu kota yang dipukuli Abu Nawas itu menghadap kepada Baginda Raja Harunurrasyid, serta sembahnya. “Ya, Tuanku Syah Alam, ampun beribu ampun, ya Syah Alam, hamba datang ini hendak mempersembahkan hal-ihwal Abu Nawas memukul akan patik dua puluh lima kali. Sekarang ini bagaimanakan hukumannya?”

Maka Sultan Harunnurrasyid pun menyuruh sahayanya memanggil Abu Nawas.
Maka berjalanlah ia ke rumah Abu Nawas itu. Sesampainya ke sana, maka katanya, “Adapun Tuan Hamba ini dipersilakan baginda, karena baginda menantikan Tuan hamba.”

Dengan segera Abu Nawas pergi menghadap baginda. Setelah sampai, lalu ia tunduk serta menyembah kaki baginda. Sabda Baginda kepadanya, “Hai Abu Nawas, betulkah engkau yang memukul penunggu pintu kota ini, atau tidak?”

Sahut Abu Nawas, “Ampun Tuanku beribu-ribu ampun, hal itu betul sekali, tiada salah. Hambalah yang memukul dia, sebab hamba sudah berjanji kepadanya, jikalau ada kurnia Tuanku akan hamba, akan kami bagi dua. Hamba satu bagian dan dia satu bagian. Sekarang ini dia minta bagiannya kepada hamba. Maka itulah hamba pukul dia, sebab hamba ingat akan perjanjian hamba kepadanya itu, karena hamba mendapat kurnia Tuanku dua puluh lima jua.”
Sabda Baginda Raja kepada penunggu pintu kota itu, “Hai penunggu pintu kota, betulkan engkau ada berjanji kepadanya demikian itu?”

Sahut orang yang menunggu pintu kota itu, “Ya Tuanku Syah Alam, memang betul hamba ada berjanji kepadanya akan yang demikian itu.”

Sabda Raja Harunurrasyid, Jika demikian, Abu Nawas tiada bersalah sama sekali.”
Maka Abu Nawas pun pulanglah ke rumahnya.

Syahdan maka sabda Raja Harunurrasyid kepada wazirnya, “Hai Lassamana, apa bicaramu dari hal dia akan menjadi penghulu itu.”

Sembah Laksamana, “Demikian Tuanku, baiklah duli Syah Alam dijadikan saja orang-orang lain penghulu itu.”

Dan sembah menteri-menteri yang hadir di hadapan Baginda pada ketika itu pula, “Ya, Tuanku Syah Alam, jikalau sekiranya patik sekalian boleh mengeluarkan bicara, beranilah patik Tuanku sekalian ini membenarkan perkataan laksamana itu, karena pada pikir patik sesungguhnya Abu Nawas itu gila, Tuanku. Pada suatu hari patik bertemu dengan dia sedang menunggang sekerat batang pisang; maka katanya kepada patik, “Hai menteri, ambillah kudaku ini dan pergilah mandikan dan serta beri makan rumut ayam cicak.

Demi mendengar perkataannya itu, patik sekalian pun heran karena perkataan yang demikian ialah perkataan orang gila. Jadi tiadalah layak ia itu Tuanku Syah Alam jadikan kadi.”
Sabda Amirulmukminin, “Benarlah seperti perkataanmu itu. Akan tetapi nantilah dulu kita lihat sampai sepuluh hari, dua puluh hari, karena bapaknya baru saja mati. Jika tiada sembuh, bolehlah kita mencari kadi yang lain.

Adapun Abu Nawas makin hari makin membuat gila dirinya juga. Setelah sampai sebulan lamanya, maka Sultan Harunurrasyid pun hendak menjadikan kadi orang lain. Pada hari itu sekalian orang berhimpunlah di dalam majelis baginda itu, dan Abu Nawas berkatalah seperti ringkik kuda kepada orang yang didekatnya, “Hai gembala kuda, pergilah dan beri makan rumput kuda itu.

Tiba berdatangan sembahlah seseorang yang bernama Polan kepada Amirulmukminin, seraya berkata, “Ya Tuanku Syah Alam jika tuanku berkenen jadikanlah hamba kadi dalam neregi Bagdad ini.

Perkataan si polan itu disokong oleh orang banyak.
Maka hari itu tetaplah sudah ia menjadi kadi di dalam negeri Bagdad. Setelah itu sekalian orang besar dan orang kecil pun kembalilah masing-masing ke rumahnya. Akan Abu Nawas itu teramat suka hatinya, lalu ia mengucap syukur alhamdulillah.

“Lepaslah aku dari bala ini,” katanya.

Comments :

0 komentar to “Abu Nawas dengan Bapaknya”