Abu Nawas dan Rumah Sempit

Suatu waktu datanglah seorang pria kepada Abu Nawas. Kedatangannya untuk meminta nasihat dari orang yang terkenal dengan sebutan ahli hikmah itu.

"Wahai Abu Nawas, aku sekarang sedang menghadapi masalah", kata pria itu.

"Masalah apakah itu wahai saudaraku", jawab Abu Nawas

"Rumahku itu sangatlah sempit. Anakku sekarang 5. Mencari rumah yang baru tidaklah mungkin. Adakah caranya agar rumahku itu menjadi lapang?", tanyanya.

"Hmm...baiklah. Pulanglah ke rumahmu, dan bawalah kambing ini masuk ke dalam rumahmu", ujar Abu Nawas.

"Wahai Abu Nawas, tidakkah kau salah? Sudah aku katakan rumahku itu sangatlah sempit. Bagaimana mungkin aku merasakan kelapangan kalau kambing ini aku bawa masuk ke dalam rumah?, tanya pria itu kebingungan.

"Sudahlah, bawa saja kambing ini, dan masukkan dia ke dalam rumahmu", kata Abu Nawas.

Akhirnya pria tersebut pulang dan mengerjakan apa yang disuruh oleh Abu Nawas. Namun selang beberapa hari kemudia, datanglah ia kembali kepada Abu Nawas.

"Wahai Abu Nawas, benar kataku, sekarang rumahku tambah sempit", keluh pria itu.

"Hmm...pulanglah, dan bawalah masuk sapi ini", jawab Abu Nawas tenang.

"Wahai Abu Nawas, dengan ditambah seekor kambing saja rumahku sudah bertambah sempit, apalagi kalau sapi ini masuk ke dalam rumah", kata pria itu heran.

"Sudahlah, pulanglah dan bawa sapi itu masuk ke rumahmu", jawab Abu Nawas.

Pulanglah pria itu dengan penuh heran. Setibanya di rumah dikerjakanlah apa yang diperintahkan Abu Nawas tadi. Setelah beberapa hari, datanglah kembali pria itu kepada Abu Nawas.

"Wahai Abu Nawas, rumahku sekarang terasa bertambah sempit, bagaimana ini?", tanya pria itu.

"Hmm...pulanglah, dan bawalah masuk kerbau ini ke dalam rumahmu", jawab Abu Nawas tenang.

Karena solusi itu sama dengan yang sebelumnya, pulanglah pria itu tanpa banyak tanya, meskipun masih dengan tanda tanya besar di benaknya. Setelah beberapa hari berganti, datanglah kembali pria itu mengadu kepada Abu Nawas.

"Wahai Abu Nawas, pertama engkau berikan adalah memasukkan kambing ke dalam rumahku, namun aku malah merasa rumahku bertambah sempit. Yang kedua engkau menyuruhku memasukkan sapi ke dalam rumahku, tapi rumahku terasa semakin sempit. Yang terakhir engkau menyuruhku memasukkan kerbau ke dalam rumahku, tapi rumahku sekarang amatlah sempit aku rasakan. Bagaimana ini wahai Abu Nawas?", tanyanya penuh heran.

"Hmm...baiklah. Sekarang pulanglah dan keluarkan kerbau yang kau masukkan kemarin", jawab Abu Nawas.

Pulanglah pria itu dan dikerjakannya perintah Abu Nawas tadi. Selang beberapa hari kemudian, datanglah ia kembali menemui Abu Nawas.

"Bagaimana keadaan rumahmu sekarang wahai saudaraku?", tanya Abu Nawas.

"Alhamdulillah...rumahku sekarang terasa lapang", jawab pria itu senang.

"Sekarang pulanglah, dan keluarkanlah sapi yang kau masukkan kemarin", kata Abu Nawas.

Beberapa hari kemudian, datanglah kembali pria itu menemui Abu Nawas.

"Bagaimana keadaan rumahmu sekarang wahai saudaraku?", tanya Abu Nawas.

"Alhamdulillah...rumahku sekarang terasa lebih lapang", jawab pria itu riang.

"Sekarang pulanglah, dan keluarkanlah kambing yang kau masukkan kemarin", kata Abu Nawas.

Pulanglah pria itu dan dikerjakannyalah perintah Abu Nawas. Beberapa hari kemudian, datanglah ia menemui Abu Nawas.

"Alhamdulillah.....sekarang aku bisa merasakan kelapangan di dalam rumahku", katanya dengan penuh semangat.

Pesan Bagi Para Hakim

Bapaknya Abu Nawas adalah Penghulu Kerajaan Baghdad bernama Maulana. Pada suatu hari bapaknya Abu Nawas yang sudah tua itu sakit parah dan akhirnya meninggal dunia.

Abu Nawas dipanggil ke istana. la diperintah Sultan (Raja) untuk menguburjenazah bapaknya itu sebagaimana adat Syeikh Maulana. Apa yang dilakukan Abu Nawas hampir tiada bedanya dengan Kadi Maulana baik mengenai tatacara memandikan jenazah hingga mengkafani, menyalati dan mendo'akannya, maka Sultan bermaksud mengangkat Abu Nawas menjadi Kadi atau penghulu menggantikan kedudukan bapaknya.

Namun... demi mendengar rencana sang Sultan. Tiba-tiba saja Abu Nawas yang cerdas itu tiba-tiba nampak berubah menjadi gila.

Usai upacara pemakaman bapaknya. Abu Nawas mengambil batang sepotong batang pisang dan diperlakukannya seperti kuda, ia menunggang kuda dari batang pisang itu sambil berlari-lari dari kuburan bapaknya menuju rumahnya. Orang yang melihat menjadi terheran-heran dibuatnya.

Pada hari yang lain ia mengajak anak-anak kecil dalam jumlah yang cukup banyak untuk pergi ke makam bapaknya. Dan di atas makam bapaknya itu ia mengajak anak-anak bermain rebana dan bersuka cita.

Kini semua orang semakin heran atas kelakuan Abu Nawas itu, mereka menganggap Abu Nawas sudah menjadi gila karena ditinggal mati oleh bapaknya.

Pada suatu hari ada beberapa orang utusan dari Sultan Harun Al Rasyid datang menemui Abu Nawas.

"Hai Abu Nawas kau dipanggil Sultan untuk menghadap ke istana." kata wazir utusan Sultan.

"Buat apa sultan memanggilku, aku tidak ada keperluan dengannya."jawab Abu
Nawas dengan entengnya seperti tanpa beban.

"Hai Abu Nawas kau tidak boleh berkata seperti itu kepada rajamu."

"Hai wazir, kau jangan banyak cakap. Cepat ambil ini kudaku ini dan mandikan di sungai supaya bersih dan segar." kata Abu Nawas sambil menyodorkan sebatang pohon pisang yang dijadikan kuda-kudaan.

Si wazir hanya geleng-geleng kepala melihat kelakuan Abu Nawas.

"Abu Nawas kau mau apa tidak menghadap Sultan?" kata wazir.

"Katakan kepada rajamu, aku sudah tahu maka aku tidak mau." kata Abu Nawas.

"Apa maksudnya Abu Nawas?" tanya wazir dengan rasa penasaran.

"Sudah pergi sana, bilang saja begitu kepada rajamu." sergah Abu Nawas sembari menyaruk debu dan dilempar ke arah si wazir dan teman-temannya.

Si wazir segera menyingkir dari halaman rumah Abu Nawas. Mereka laporkan keadaan Abu Nawas yang seperti tak waras itu kepada Sultan Harun Al Rasyid.

Dengan geram Sultan berkata,"Kalian bodoh semua, hanya menghadapkan Abu Nawas kemari saja tak becus! Ayo pergi sana ke rumah Abu Nawas bawa dia kemari dengan suka rela ataupun terpaksa."

Si wazir segera mengajak beberapa prajurit istana. Dan dengan paksa Abu Nawas di hadirkan di hadapan raja.

Namun lagi-lagi di depan raja Abu Nawas berlagak pilon bahkan tingkahnya ugal-ugalan tak selayaknya berada di hadapan seorang raja.

"Abu Nawas bersikaplah sopan!" tegur Baginda.

"Ya Baginda, tahukah Anda....?"

"Apa Abu Nawas...?"

"Baginda... terasi itu asalnya dari udang !"

"Kurang ajar kau menghinaku Nawas !"

"Tidak Baginda! Siapa bilang udang berasal dari terasi?"

Baginda merasa dilecehkan, ia naik pitam dan segera memberi perintah kepada para pengawalnya. "Hajar dia ! Pukuli dia sebanyak dua puluh lima kali"

Wah-wah! Abu Nawas yang kurus kering itu akhirnya lemas tak berdaya dipukuli tentara yang bertubuh kekar.

Usai dipukuli Abu Nawas disuruh keluar istana. Ketika sampai di pintu gerbang kota, ia dicegat oleh penjaga.]

"Hai Abu Nawas! Tempo hari ketika kau hendak masuk ke kota ini kita telah mengadakan perjanjian. Masak kau lupa pada janjimu itu? Jika engkau diberi hadiah oleh Baginda maka engkau berkata: Aku bagi dua; engkau satu bagian, aku satu bagian. Nah, sekarang mana bagianku itu?"

"Hai penjaga pintu gerbang, apakah kau benar-benar menginginkan hadiah Baginda yang diberikan kepada tadi?"

"lya, tentu itu kan sudah merupakan perjanjian kita?"

"Baik, aku berikan semuanya, bukan hanya satu bagian!"

"Wan ternyata kau baik hati Abu Nawas. Memang harusnya begitu, kau kan sudah sering menerima hadiah dari Baginda."

Tanpa banyak cakap lagi Abu Nawas mengambil sebatang kayu yang agak besar lalu orang itu dipukulinya sebanyak dua puluh lima kali.Tentu saja orang itu menjerit-jerit kesakitan dan menganggap Abu Nawas telah menjadi gila.

Setelah penunggu gerbang kota itu klenger Abu Nawas meninggalkannya begitu saja, ia terus melangkah pulang ke rumahnya.

Sementara itu si penjaga pintu gerbang mengadukan nasibnya kepada Sultan Harun Al Rasyid.

"Ya, Tuanku Syah Alam, ampun beribu ampun. Hamba datang kemari mengadukan Abu Nawas yang teiah memukul hamba sebanyak dua puluh lima kali tanpa suatu kesalahan. Hamba mohom keadilan dari Tuanku Baginda."

Baginda segera memerintahkan pengawal untuk memanggil Abu Nawas. Setelah Abu Nawas berada di hadapan Baginda ia ditanya."Hai Abu Nawas! Benarkah kau telah memukuli penunggu pintu gerbang kota ini sebanyak dua puluh lima kali pukulan?"

Berkata Abu Nawas,"Ampun Tuanku, hamba melakukannya karena sudah sepatutnya dia menerima pukulan itu."

"Apa maksudmu? Coba kau jelaskan sebab musababnya kau memukuli orang itu?" tanya Baginda.

"Tuanku,"kata Abu Nawas."Hamba dan penunggu pintu gerbang ini telah mengadakan perjanjian bahwa jika hamba diberi hadiah oleh Baginda maka hadiah tersebut akan dibagi dua. Satu bagian untuknya satu bagian untuk saya. Nah pagi tadi hamba menerima hadiah dua puluh lima kali pukulan, maka saya berikan pula hadiah dua puluh lima kali pukulan kepadanya."

"Hai penunggu pintu gerbang, benarkah kau telah mengadakan perjanjianseperti itu dengan Abu Nawas?" tanya Baginda.

"Benar Tuanku,"jawab penunggu pintu gerbang.

"Tapi hamba tiada mengira jika Baginda memberikan hadiah pukulan."

"Hahahahaha! Dasar tukang peras, sekarang kena batunya kau!"sahut Baginda."Abu Nawas tiada bersalah, bahkan sekarang aku tahu bahwa penjaga pintu gerbang kota Baghdad adalah orang yang suka narget, suka memeras orang! Kalau kau tidak merubah kelakuan burukmu itu sungguh aku akan memecat dan menghukum kamu!"

"Ampun Tuanku,"sahut penjaga pintu gerbang dengan gemetar.

Abu Nawas berkata,"Tuanku, hamba sudah lelah, sudah mau istirahat, tiba-tiba diwajibkan hadir di tempat ini, padahal hamba tiada bersalah. Hamba mohon ganti rugi. Sebab jatah waktu istirahat hamba sudah hilang karena panggilan Tuanku. Padahal besok hamba harus mencari nafkah untuk keluarga hamba."

Sejenak Baginda melengak, terkejut atas protes Abu Nawas, namun tiba-tiba ia tertawa terbahak-bahak, "Hahahaha...jangan kuatir Abu Nawas."

Baginda kemudian memerintahkan bendahara kerajaan memberikan sekantong uang perak kepada Abu Nawas. Abu Nawas pun pulang dengan hati gembira.

Tetapi sesampai di rumahnya Abu Nawas masih bersikap aneh dan bahkan semakin nyentrik seperti orang gila sungguhan.

Pada suatu hari Raja Harun Al Rasyid mengadakan rapat dengan para menterinya.

"Apa pendapat kalian mengenai Abu Nawas yang hendak kuangkat sebagai kadi?"

Wazir atau perdana meneteri berkata,"Melihat keadaan Abu Nawas yang semakin parah otaknya maka sebaiknya Tuanku mengangkat orang lain saja menjadi kadi."

Menteri-menteri yang lain juga mengutarakan pendapat yang sama.

"Tuanku, Abu Nawas telah menjadi gila karena itu dia tak layak menjadi kadi."

"Baiklah, kita tunggu dulu sampai dua puluh satu hari, karena bapaknya baru saja mati. Jika tidak sembuh-sembuh juga bolehlah kita mencari kadi yang lain saja."

Setelah lewat satu bulan Abu Nawas masih dianggap gila, maka Sultan Harun Al Rasyid mengangkat orang lain menjadi kadi atau penghulu kerajaan Baghdad.

Konon dalam seuatu pertemuan besar ada seseorang bernama Polan yang sejak lama berambisi menjadi Kadi, la mempengaruhi orang-orang di sekitar Baginda untuk menyetujui jika ia diangkat menjadi Kadi, maka tatkala ia mengajukan dirinya menjadi Kadi kepada Baginda maka dengan mudah Baginda menyetujuinya.

Begitu mendengar Polan diangkat menjadi kadi maka Abu Nawas mengucapkan syukur kepada Tuhan.

"Alhamdulillah aku telah terlepas dari balak yang mengerikan.

Tapi.,..sayang sekali kenapa harus Polan yang menjadi Kadi, kenapa tidak yang lain saja."

Mengapa Abu Nawas bersikap seperti orang gila? Ceritanya begini:

Pada suatu hari ketika ayahnya sakit parah dan hendak meninggal dunia ia panggii Abu Nawas untuk menghadap. Abu Nawas pun datang mendapati bapaknya yang sudah lemah lunglai.

Berkata bapaknya,"Hai anakku, aku sudah hampir mati. Sekarang ciumlah telinga kanan dan telinga kiriku."
Abu Nawas segera menuruti permintaan terakhir bapaknya. la cium telinga kanan bapaknya, ternyata berbau harum, sedangkan yang sebelah kiri berbau sangat busuk.

"Bagamaina anakku? Sudah kau cium?"

"Benar Bapak!"

"Ceritakankan dengan sejujurnya, baunya kedua telingaku ini."

"Aduh Pak, sungguh mengherankan, telinga Bapak yang sebelah kanan berbau harum sekali. Tapi... yang sebelah kiri kok baunya amat busuk?"

"Hai anakku Abu Nawas, tahukah apa sebabnya bisa terjadi begini?"

"Wahai bapakku, cobalah ceritakan kepada anakmu ini."

Berkata Syeikh Maulana "Pada suatu hari datang dua orang mengadukan masalahnya kepadaku. Yang seorang aku dengarkan keluhannya. Tapi yang seorang lagi karena aku tak suaka maka tak kudengar pengaduannya. Inilah resiko menjadi Kadi (Penghulu). Jia kelak kau suka menjadi Kadi maka kau akan mengalami hai yang sama, namun jika kau tidak suka menjadi Kadi maka buatlah alasan yang masuk akal agar kau tidak dipilih sebagai Kadi oleh Sultan Harun Al Rasyid. Tapi tak bisa tidak Sultan Harun Al Rasyid pastilah tetap memilihmu sebagai Kadi."

Nan, itulah sebabnya Abu Nawas pura-pura menjadi gila. Hanya untuk menghindarkan diri agar tidak diangkat menjadi kadi, seorang kadi atau penghulu pada masa itu kedudukannya seperti hakim yang memutus suatu
perkara. Walaupun Abu Nawas tidak menjadi Kadi namun dia sering diajak konsultasi oleh sang Raja untuk memutus suatu perkara. Bahkan ia kerap kali dipaksa datang ke istana hanya sekedar untuk menjawab pertanyaan Baginda Raja yang aneh-aneh dan tidak masuk akal.

Filosofi Abu Nawas

Siapakah Abu Nawas? Tokoh yang dinggap badut namun juga dianggap ulama besar ini— sufi, tokoh super lucu yang tiada bandingnya ini aslinya orang Persia yang dilahirkan pada tahun 750 M di Ahwaz meninggal pada tahun 819 M di Baghdad. Setelah dewasa ia mengembara ke Bashra dan Kufa. Di sana ia belajar bahasa Arab dan bergaul rapat sekali dengan orang-orang badui padang pasir.

Karena pergaulannya itu ia mahir bahasa Arab dan adat istiadat dan kegemaran orang Arab”, la juga pandai bersyair, berpantun dan menyanyi. la sempat pulang ke negerinya, namun pergi lagi ke Baghdad bersama ayahnya, keduanya menghambakan diri kepada Sultan Harun Al Rasyid Raja Baghdad.

Mari kita mulai kisah penggeli hati ini. Bapaknya Abu Nawas adalah Penghulu Kerajaan Baghdad bernama Maulana. Pada suatu hari bapaknya Abu Nawas yang sudah tua itu sakit parah dan akhirnya meninggal dunia.

Abu Nawas dipanggil ke istana. la diperintah Sultan (Raja) untuk mengubur jenazah bapaknya itu sebagaimana adat Syeikh Maulana.

Apa yang dilakukan Abu Nawas hampir tiada bedanya dengan Kadi Maulana baik mengenai tatacara
memandikan jenazah hingga mengkafani, menyalati dan mendo’akannya, maka Sultan bermaksud mengangkat Abu Nawas menjadi Kadi atau penghulu menggantikan kedudukan bapaknya.

Namun… demi mendengar rencana sang Sultan. Tiba-tiba saja Abu Nawas yang cerdas itu tiba-tiba nampak berubah menjadi gila.

Usai upacara pemakaman bapaknya. Abu Nawas mengambil batang sepotong batang pisang dan diperlakukannya seperti kuda, ia menunggang kuda dari batang pisang itu sambil berlari-lari dari kuburan bapaknya menuju rumahnya. Orang yang melihat menjadi terheran-heran dibuatnya.

Pada hari yang lain ia mengajak anak-anak kecil dalam jumlah yang cukup banyak untuk pergi ke makam bapaknya. Dan di atas makam bapaknya itu ia mengajak anak-anak bermain rebana dan bersuka cita.

Kini semua orang semakin heran atas kelakuan Abu Nawas itu, mereka menganggap Abu Nawas sudah menjadi gila karena ditinggal mati oleh bapaknya.

Pada suatu hari ada beberapa orang utusan dari Sultan Harun Al Rasyid datang menemui Abu Nawas.
“Hai Abu Nawas kau dipanggil Sultan untuk menghadap ke istana.” kata wazir utusan Sultan.

“Buat apa sultan memanggilku, aku tidak ada keperluan dengannya.”jawab Abu Nawas dengan entengnya seperti tanpa beban.

“Hai Abu Nawas kau tidak boleh berkata seperti itu kepada rajamu.”

“Hai wazir, kau jangan banyak cakap. Cepat ambil ini kudaku ini dan mandikan di sungai supaya bersih dan segar.” kata Abu Nawas sambil menyodorkan sebatang pohon pisang yang dijadikan kuda-kudaan.
Si wazir hanya geleng-geleng kepala melihat kelakuan Abu Nawas.

“Abu Nawas kau mau apa tidak menghadap Sultan?” kata wazir
“Katakan kepada rajamu, aku sudah tahu maka aku tidak mau.” kata Abu Nawas.
“Apa maksudnya Abu Nawas?” tanya wazir dengan rasa penasaran.
“Sudah pergi sana, bilang saja begitu kepada rajamu.” sergah Abu Nawas sembari menyaruk debu dan dilempar ke arah si wazir dan teman-temannya.

Si wazir segera menyingkir dari halaman rumah Abu Nawas. Mereka laporkan keadaan Abu Nawas yang seperti tak waras itu kepada Sultan Harun Al Rasyid.
Dengan geram Sultan berkata,”Kalian bodoh semua, hanya menghadapkan Abu Nawas kemari saja tak becus! Ayo pergi sana ke rumah Abu Nawas bawa dia kemari dengan suka rela ataupun terpaksa.”

Si wazir segera mengajak beberapa prajurit istana. Dan dengan paksa Abu Nawas di hadirkan di hadapan raja.

Namun lagi-lagi di depan raja Abu Nawas berlagak pilon bahkan tingkahnya ugal-ugalan tak selayaknya berada di hadapan seorang raja.
“Abu Nawas bersikaplah sopan!” tegur Baginda.
“Ya Baginda, tahukah Anda….?”
“Apa Abu Nawas…?”
“Baginda… terasi itu asalnya dari udang !”
“Kurang ajar kau menghinaku Nawas !”
“Tidak Baginda! Siapa bilang udang berasal dari terasi?”
Baginda merasa dilecehkan, ia naik pitam dan segera memberi perintah kepada para pengawalnya. “Hajar dia ! Pukuli dia sebanyak dua puluh lima kali”

Wah-wah! Abu Nawas yang kurus kering itu akhirnya lemas tak berdaya dipukuli tentara yang bertubuh kekar.

Usai dipukuli Abu Nawas disuruh keluar istana. Ketika sampai di pintu gerbang kota, ia dicegat oleh penjaga.

“Hai Abu Nawas! Tempo hari ketika kau hendak masuk ke kota ini kita telah mengadakan perjanjian. Masak kau lupa pada janjimu itu? Jika engkau diberi hadiah oleh Baginda maka engkau berkata: Aku bagi dua; engkau satu bagian, aku satu bagian. Nah, sekarang mana bagianku itu?”

“Hai penjaga pintu gerbang, apakah kau benar-benar menginginkan hadiah Baginda yang diberikan kepada tadi?”
“lya, tentu itu kan sudah merupakan perjanjian kita?”
“Baik, aku berikan semuanya, bukan hanya satu bagian!”
“Wan ternyata kau baik hati Abu Nawas. Memang harusnya begitu, kau kan sudah sering menerima hadiah dari Baginda.”

Tanpa banyak cakap lagi Abu Nawas mengambil sebatang kayu yang agak besar lalu orang itu dipukulinya sebanyak dua puluh lima kali.Tentu saja orang itu menjerit-jerit kesakitan dan menganggap Abu Nawas telah menjadi gila.
Setelah penunggu gerbang kota itu klenger Abu Nawas meninggalkannya begitu saja, ia terus melangkah pulang ke rumahnya.
Sementara itu si penjaga pintu gerbang mengadukan nasibnya kepada Sultan Harun Al Rasyid.

“Ya, Tuanku Syah Alam, ampun beribu ampun. Hamba datang kemari mengadukan Abu Nawas yang teiah memukul hamba sebanyak dua puluh lima kali tanpa suatu kesalahan. Hamba mohom keadilan dari Tuanku Baginda.”

Baginda segera memerintahkan pengawal untuk memanggil Abu Nawas. Setelah Abu Nawas berada di hadapan Baginda ia ditanya.”Hai Abu Nawas! Benarkah kau telah memukuli penunggu pintu gerbang kota ini sebanyak dua puluh lima kali pukulan?”

Berkata Abu Nawas,”Ampun Tuanku, hamba melakukannya karena sudah sepatutnya dia menerima pukulan itu.”

“Apa maksudmu? Coba kau jelaskan sebab musababnya kau memukuli orang itu?” tanya Baginda.

“Tuanku,”kata Abu Nawas.”Hamba dan penunggu pintu gerbang ini telah mengadakan perjanjian bahwa jika hamba diberi hadiah oleh Baginda maka hadiah tersebut akan dibagi dua. Satu bagian untuknya satu bagian untuk saya.
Nah pagi tadi hamba menerima hadiah dua puluh lima kali pukulan, maka saya berikan pula hadiah dua puluh lima kali pukulan kepadanya.”

“Hai penunggu pintu gerbang, benarkah kau telah mengadakan perjanjian seperti itu dengan Abu Nawas?” tanya Baginda.
“Benar Tuanku,”jawab penunggu pintu gerbang.
“Tapi hamba tiada mengira jika Baginda memberikan hadiah pukulan.”
“Hahahahaha!… Dasar tukang peras, sekarang kena batunya kau!” sahut Baginda.”Abu Nawas tiada bersalah, bahkan sekarang aku tahu bahwa penjaga pintu gerbang kota Baghdad adalah orang yang suka narget, suka memeras orang! Kalau kau tidak merubah kelakuan burukmu itu sungguh aku akan
memecat dan menghukum kamu!”

“Ampun Tuanku,”sahut penjaga pintu gerbang dengan gemetar.

Abu Nawas berkata,”Tuanku, hamba sudah lelah, sudah mau istirahat, tiba-tiba diwajibkan hadir di tempat ini, padahal hamba tiada bersalah. Hamba mohon ganti rugi. Sebab jatah waktu istirahat hamba sudah hilang karena panggilan Tuanku. Padahal besok hamba harus mencari nafkah untuk keluarga hamba.”

Sejenak Baginda melengak, terkejut atas protes Abu Nawas, namun tiba-tiba ia tertawa terbahak-bahak, “Hahahaha…jangan kuatir Abu Nawas.”

Baginda kemudian memerintahkan bendahara kerajaan memberikan sekantong uang perak kepada Abu Nawas. Abu Nawas pun pulang dengan hati gembira.

Tetapi sesampai di rumahnya Abu Nawas masih bersikap aneh dan bahkan semakin nyentrik seperti orang gila sungguhan.

Pada suatu hari Raja Harun Al Rasyid mengadakan rapat dengan para menterinya.
“Apa pendapat kalian mengenai Abu Nawas yang hendak kuangkat sebagai
kadi?”
Wazir atau perdana menteri berkata,”Melihat keadaan Abu Nawas yang semakin parah otaknya maka sebaiknya Tuanku mengangkat orang lain saja menjadi kadi.”

Menteri-menteri yang lain juga mengutarakan pendapat yang sama.
“Tuanku, Abu Nawas telah menjadi gila karena itu dia tak layak menjadi kadi.”
“Baiklah, kita tunggu dulu sampai dua puluh satu hari, karena bapaknya baru saja mati. Jika tidak sembuh-sembuh juga bolehlah kita mencari kadi yang lain saja.”

Setelah lewat satu bulan Abu Nawas masih dianggap gila, maka Sultan Harun Al Rasyid mengangkat orang lain menjadi kadi atau penghulu kerajaan Baghdad.
Konon dalam seuatu pertemuan besar ada seseorang bernama Polan yang sejak lama berambisi menjadi Kadi, la mempengaruhi orang-orang di sekitar Baginda untuk menyetujui jika ia diangkat menjadi Kadi, maka tatkala ia mengajukan dirinya menjadi Kadi kepada Baginda maka dengan mudah Baginda menyetujuinya.

Begitu mendengar Polan diangkat menjadi kadi maka Abu Nawas mengucapkan syukur kepada Tuhan.
“Alhamdulillah aku telah terlepas dari balak yang mengerikan.
Tapi.,..sayang sekali kenapa harus Polan yang menjadi Kadi, kenapa tidak yang lain saja.”

Mengapa Abu Nawas bersikap seperti orang gila? Ceritanya begini:

Pada suatu hari ketika ayahnya sakit parah dan hendak meninggal dunia ia panggii Abu Nawas untuk menghadap. Abu Nawas pun datang mendapati bapaknya yang sudah lemah lunglai.

Berkata bapaknya,”Hai anakku, aku sudah hampir mati. Sekarang ciumlah telinga kanan dan telinga kiriku.”

Abu Nawas segera menuruti permintaan terakhir bapaknya. la cium telinga kanan bapaknya, ternyata berbau harum, sedangkan yang sebelah kiri berbau sangat busuk.
“Bagamaina anakku? Sudah kau cium?”
“Benar Bapak!”
“Ceritakankan dengan sejujurnya, baunya kedua telingaku int.”
“Aduh Pak, sungguh mengherankan, telinga Bapak yang sebelah kanan berbau harum sekali. Tapi… yang sebelah kiri kok baunya amat busuk?”
“Hai anakku Abu Nawas, tahukah apa sebabnya bisa terjadi begini?”
“Wahai bapakku, cobalah ceritakan kepada anakmu ini.”

Berkata Syeikh Maulana “Pada suatu hari datang dua orang mengadukan masalahnya kepadaku. Yang seorang aku dengarkan keluhannya. Tapi yang seorang lagi karena aku tak suaka maka tak kudengar pengaduannya. Inilah resiko menjadi Kadi (Penghulu). Jia kelak kau suka menjadi Kadi maka kau akan
mengalami hai yang sama, namun jika kau tidak suka menjadi Kadi maka buatlah alasan yang masuk akal agar kau tidak dipilih sebagai Kadi oleh Sultan Harun Al Rasyid. Tapi tak bisa tidak Sultan Harun Al Rasyid pastilah tetap memilihmu sebagai Kadi.”

Nah, itulah sebabnya Abu Nawas pura-pura menjadi gila. Hanya untuk menghindarkan diri agar tidak diangkat menjadi kadi, seorang kadi atau penghulu pada masa itu kedudukannya seperti hakim yang memutus suatu perkara. Walaupun Abu Nawas tidak menjadi Kadi namun dia sering diajak konsultasi oleh sang Raja untuk memutus suatu perkara. Bahkan ia kerap kali dipaksa datang ke istana hanya sekedar untuk menjawab pertanyaan Baginda Raja yang aneh-aneh dan tidak masuk akal.

Hadiah Bagi Tebakan Jitu

Baginda Raja Harun Al Rasyid kelihatan murung. Semua menterinya tidak adayang sanggup menemukan jawaban dari dua pertanyaan Baginda. Bahkan para penasihat kerajaan pun merasa tidak mampu memberi penjelasan yang memuaskan Baginda. Padahal Baginda sendiri ingin mengetahui jawaban yang sebenarnya.

Mungkin karena amat penasaran, para penasihat Baginda menyarankan agar Abu Nawas saja yang memecahkan dua teka-teki yang membingungkan itu.

Tidak begitu lama Abu Nawas dihadapkan. Baginda mengatakan bahwa akhirakhir ini ia sulit tidur karena diganggu oleh keingintahuan menyingkap dua rahasia alam.

“Tuanku yang mulia, sebenarnya rahasia alam yang manakah yang Paduka maksudkan?” tanya Abu Nawas ingin tahu.

“Aku memanggilmu untuk menemukan jawaban dari dua teka-teki yang selama ini menggoda pikiranku.” kata Baginda.

“Bolehkah hamba mengetahui kedua teka-teki itu wahai Paduka junjungan hamba.”

“Yang pertama, di manakah sebenarnya batas jagat raya ciptaan Tuhan kita?” tanya Baginda.

“Di dalam pikiran, wahai Paduka yang mulia.” jawab Abu Nawas tanpa sedikit pun perasaan ragu, “Tuanku yang mulia,” lanjut Abu Nawas ‘ketidakterbatasan itu ada karena adanya keterbatasan. Dan keterbatasan itu ditanamkan oleh Tuhan di dalam otak manusia. Dari itu manusia tidak akan pernah tahu di mana batas jagat raya ini. Sesuatu yang terbatas tentu tak akan mampu mengukur sesuatu yang tidak terbatas.”

Baginda mulai tersenyum karena merasa puas mendengar penjelasan Abu Nawas yang masuk akal. Kemudian Baginda melanjutkan teka-teki yang kedua.

“Wahai Abu Nawas, manakah yang lebih banyak jumlahnya : bintang-bintang di langit ataukah ikan-ikan di laut?”

“Ikan-ikan di laut.” jawab Abu Nawas dengan tangkas.

“Bagaimana kau bisa langsung memutuskan begitu. Apakah engkau pernah menghitung jumlah mereka?” tanya Baginda heran.

“Paduka yang mulia, bukankah kita semua tahu bahwa ikan-ikan itu setiap hari ditangkapi dalam jumlah besar, namun begitu jumlah mereka tetap banyak seolah-olah tidak pernah berkurang karena saking banyaknya. Sementara bintang-bintang itu tidak pernah rontok, jumlah mereka juga banyak.” jawab Abu Nawas meyakinkan.

Seketika itu rasa penasaran yang selama ini menghantui Baginda sirna tak berbekas. Baginda Raja Harun Al Rasyid memberi hadiah Abu Nawas dan istrinya uang yang cukup banyak.

ABU NAWAS DAN ORANG KAYA KIKIR

Suatu hari Abu Nawas berada di luar kota. Dia merasa kebingungan karena kehabisan bekal untuk pulang. Demi mendapatkan uang sekedar untuk ongkos pulang dan membeli makanan, dia terpaksa menyamar sebagai pengemis. Kebetulan dia berada di depan rumah gedong milik orang kaya raya yang terkenal sangat kikir.

“Ada apa?” tanya si kaya yang kikir itu.
“Mungkin tuan ada uang recehan,” kata Abu Nawas.
“Tidak punya.”
“Mungkin sisa nasi atau roti, tuan.”
“Tidak ada.”
“Mungkin sisa-sisa makanan apa saja.”
“Tidak punya.”
“Baiklah, kalau begitu tolong beri aku segelas air putih saja.”
“Juga tidak punya.”
“Kalau apa-apa tidak punya, apakah tidak sebaiknya tuan ikut bersama saya saja.” Kata Abu Nawas.
“Ikut ke mana?” tanya si kata kikir itu.
“Ya, ikut mengemis,” jawab Abu Nawas sambil beranjak pergi.

Abu Nawas Mendemo Tuan Kadi

Pada suatu sore, ketika Abu Nawas sedang mengajar murid-muridnya. Ada dua
orang tamu datang ke rumahnya. Yang seorang adalah wanita tua penjual
kahwa, sedang satunya lagi adalah seorang pemuda berkebangsaan Mesir.

Wanita tua itu berkata beberapa patah kata kemudian diteruskan dengan si
pemuda Mesir. Setelah mendengar pengaduan mereka, Abu Nawas menyuruh
murid-muridnya menutup kitab mereka.
“Sekarang pulanglah kalian. Ajak teman-teman kalian datang kepadaku pada
malam hari ini sambil membawa cangkul, penggali, kapak dan martil serta
batu.”

Murid-murid Abu Nawas merasa heran, namun mereka begitu patuh kepada Abu
Nawas. Dan mereka merasa yakin gurunya selalu berada membuat kejutan dan
berddfa di pihak yang benar.

Pada malam harimya mereka datang ke rumah Abu Nawas dengan membawa
peralatan yang diminta oleh Abu Nawas.

Berkata Abu Nawas,”Hai kalian semua! Pergilah malam hari ini untuk merusak
Tuan Kadi yang baru jadi.”

“Hah? Merusak rumah Tuan Kadi?” gumam semua muridnya keheranan.

“Apa? Kalian jangan ragu. Laksanakan saja perintah gurumu ini!” kata Abu
Nawas menghapus keraguan murid-muridnya. Barangsiapa yang mencegahmu,
jangan kau perdulikan, terus pecahkan saja rumah Tuan Kadi yang baru. Siapa
yang bertanya, katakan saja aku yang menyuruh merusak. Barangsiapa yang
hendak melempar kalian, maka pukullah mereka dan iemparilah dengan batu.”

Habis berkata demikian, murid-murid Abu Nawas bergerak ke arah Tuan Kadi.
Laksana demonstran mereka berteriak-teriak menghancurkan rumah Tuan Kadi.

Orang-orang kampung merasa heran melihat kelakukan mereka. Lebih-lebih
ketikatanpa basa-basi lagi mereka iangsung merusak rumah Tua Kadi. Orang-or-
ang kampung itu berusaha mencegah perbuatan mereka, namun karena jumlah

murid-murid Abu Nawas terlalu banyak maka orang-orang kampung tak berani
mencegah.

Melihat banyak orang merusak rumahnya, Tuan Kadi segera keluar dan
bertanya,”Siapa yang menyuruh kalian merusak rumahku?”

Murid-murid itu menjawab,”Guru kami Tuan Abu Nawas yang menyuruh kami!”

Habis menjawab begitu mereka bukannya berhenti malah terus menghancurkan
rumah Tuan Kadi hingga rumah itu roboh dan rata dengan tanah.

Tuan Kadi hanya bisa marah-marah karena tidak orang yang berani membelanya
“Dasar Abu Nawas provokator, orang gila! Besok pagi aku akan melaporkannya
kepada Baginda.”

Benar, esok harinya Tuan Kadi mengadukan kejadian semalam sehingga Abu
Nawas dipanggil menghadap Baginda.

Setelah Abu Nawas menghadap Baginda, ia ditanya. “Hai Abu Nawas apa
sebabnya kau merusak rumah Kadi itu”

Abu Nawas menjawab,”Wahai Tuanku, sebabnya ialah pada sliatu malam
hamba bermimpi, bahwasanya Tuan Kadi menyuruh hamba merusak rumahnya.
Sebab rumah itu tidak cocok baginya, ia menginginkan rumah yang lebih bagus
lagi.Ya, karena mimpi itu maka hamba merusak rumah Tuan Kadi.”

Baginda berkata,” Hai Abu Nawas, bolehkah hanya karena mimpi sebuah
perintah dilakukan? Hukum dari negeri mana yang kau pakai itu?”

Dengan tenang Abu Nawas menjawab,”Hamba juga memakai hukum Tuan Kadi
yang baru ini Tuanku.”

Mendengar perkataan Abu Nawas seketika wajah Tuan Kadi menjadi pucat. la
terdiam seribu bahasa.

“Hai Kadi benarkah kau mempunyai hukum seperti itu?” tanya Baginda.
Tapi Tuan Kadi tiada menjawab, wajahnya nampak pucat, tubuhnya gemetaran
karena takut.

“Abu Nawas! Jangan membuatku pusing! Jelaskan kenapa ada peristiwa seperti
ini !” perintah Baginda.

“Baiklah …… “Abu Nawas tetap tenang. “Baginda…. beberapa hari yang lalu
ada seorang pemuda Mesir datang ke negeri Baghdad ini untuk berdagang
sambil membawa harta yang banyak sekali. Pada suatu malam ia bermimpi
kawin dengan anak Tuan Kadi dengan mahar (mas kawin) sekian banyak. Ini
hanya mimpi Baginda. Tetapi Tuan Kadi yang mendengar kabar itu langsung
mendatangi si pemuda Mesir dan meminta mahar anaknya. Tentu saja pemuda
Mesir itu tak mau membayar mahar hanya karena mimpi. Nah, di sinilah
terlihat arogansi Tuan Kadi, ia ternyata merampas semua harta benda milik
pemuda Mesir sehingga pemuda itu menjadi seorang pengemis gelandangan dan
akhirnya ditolong oleh wanita tua penjual kahwa.”

Baginda terkejut mendengar penuturan Abu Nawas, tapi masih belum percaya
seratus persen, maka ia memerintahkan Abu Nawas agar memanggil si pemuda
Mesir. Pemuda Mesir itu memang sengaja disuruh Abu Nawas menunggu di
depan istana, jadi mudah saja bagi Abu Nawas memanggil pemuda itu ke
hadapan Baginda.

Berkata Baginda Raja,”Hai anak Mesir ceritakanlah hal-ihwal dirimu sejak
engkau datang ke negeri ini.”

Ternyata cerita pemuda Mesir itu sama dengan cerita Abu Nawas. Bahkan
pemuda itu juga membawa saksi yaitu Pak Tua pemilik tempat kost dia
menginap.
“Kurang ajar! Ternyata aku telah mengangkat seorang Kadi yang bejad
moralnya.”

Baginda sangat murka. Kadi yang baru itu dipecat dan seluruh harta bendanya
dirampas dan diberikan kepada si pemuda Mesir.

Setelah perkara selesai, kembalilah si pemuda Mesir itu dengan Abu Nawas
pulang ke rumahnya. Pemuda Mesir itu hendak membalas kebaikan Abu Nawas.

Berkata Abu Nawas,”Janganlah engkau memberiku barang sesuatupun
kepadaku. Aku tidak akan menerimanya sedikitpun jua.”

Pemuda Mesir itu betul-betul mengagumi Abu Nawas. Ketika ia kembali ke
negeri Mesir ia menceritakan tentang kehebatan Abu Nawas itu kepada
penduduk Mesir sehingga nama Abu Nawas menjadi sangat terkenal.

Abu Nawas dengan Bapaknya

Ini suatu cerita tatkala zaman raja Harunurrasyid di dalam negeri Bagdad. Baginda itu amat adil perintahnya. Adalah seorang penghulunya, bernama Maulana. Ia mempunyai seorang anak laki-laki, yaitu Abu Nawas yang bekerja di istana raja itu. Setelah beberapa lamanya Abu Nawas mengabdikan diri kepada raja yang adil itu, terkenal pula lah namanya seperti bapaknya. Akan tetapi sifat terkenal keduanya itu tiadalah sama...

Syahdan penghulu (kadi) itu pun hampirlah akan kembali ke Rahmatullah Taala. Maka disuruhnya panggil anaknya yang bernama Abu Nawas itu. Anak itu pun datanglah dengan segera mendapatkan bapaknya itu.

Kata bapaknya kepada Abu Nawas, “Hai, Anakku! Adapun aku ini hampirlah akan meninggalkan dunia. Ciumlah olehmu telingaku kanan dan kiri.

Setelah itu Abu Nawas pun segera mencium telinga bapaknya. Adapun bau telinga bapaknya yang sebelah kanan itu terlalu harum dan yang sebelah kiri sangat busuk baunya. Setelah sudah, maka kata bapaknya itu kepadanya, “Hai, Anakku, Abu Nawas, dapatkah engkau mencium baunya itu?”

Jawab Abu Nawas, “Dapat juga hamba mencium baunya. Yang kanan itu hamba cium sangat harum baunya dan yang sebelah kiri sangatlah busuknya.”

Maka kata bapaknya, “Hai, Anakku, pada suatu hari datang dua orang kepadaku minta bicarakan dia akan daku. Yang seorang perkataannya aku dengarkan dan yang seorang lagi tidak, dan inilah halnya orang yang menjadi kadi. Jika engkau kelak suka menjadi kadi pula, demikianlah halmu, dan jika engkau tiada suka, maka buatlah helah akan dirimu kepada Sultan Harunurrasyid. Akan tetapi tak dapattiada tentu amirulmukminin hendak juga menjadikan engkau kadi.”

Kalakian maka Abu Nawas pun diamlah. Beberapa hari kemudian bapak Abu Nawas sungguhlah kembali ke Rahmatullah Taala. Kafan dan nisan sudah dibeli oleh Abu Nawas. Maka ia pun pergilah masuk ke dalam istana menghadap Sultan Harunurrasyid akan memberitahukan kalau bapaknya sudah mati. Demi didengar amirulmukminin Sultan Harunurrasyid hal Abu Nawas datang itu, maka sabda Baginda, “Hai, Abu Nawas, pergilah engkau kuburkan bapakmu seperti adat Maulana Kadi juga.”

Abu Nawas pun pergilah menguburkan bapaknya, seperti kadi perbuatannya. Setelah sudah, kembalilah Abu Nawas ke rumahnya. Hatinya amat masygul, pertama oleh karena kematian bapaknya itu, kedua sebab ia akan dijadikan baginda kadi pengganti bapaknya. Apa dayanya, supaya ia jangan menjabat pangkat itu? Maka ia pun berpura-pura membuat kelakuan seperti orang gila. Diambilnya sepotong batang pisang, diperbuatnya seperti kuda, lalu ditungganginya berlari lari dari kubur ayahnya pulang ke rumahnya. Pada hari lain dipanggilnya kanak-kanak terlalu banyak, dibawanya ke kubur ayahnya serta dengan rebana. Maka dipukulnya rebana itu di atas kubur ayahnya. Sekalian orang di dalam negeri itu pun heranlah melihat kelakuan Abu Nawas yang demikian itu. “Sayang sekali Abu Nawas ini menjadi gila,” kata mereka itu sama sendirinya. Maka terdengarlah hal itu kepada Raja Harunurrasyid, lalu disuruhnya seorang hamba memanggil Abu Nawas. Hamba Baginda itu pun menyembah, lalu pergi ke rumah Abu Nawas. Kata hamba raja itu kepada Abu Nawas, “Ada pun kami ini menjunjung titah syah alam kemari ini, Tuan Hamba dipersilahkan oleh syah alam menghadap ke bawah duli Baginda.”
Maka Abu Nawas pun berjalanlah bersama-sama dengan hamba raja itu, melalui dua lapisan kota. Setelah sampai ke hadapan raja, tunduklah Abu Nawas, lalu menyembah. Maka sabda raja Harunurrasyid kepadanya, “Hai, Abu Nawas, telah lama engkau tak datang-datang kemari. Apa sebabnya? Sekarang ini engkau hendak kujadikan kadi pengganti ayahmu.”

Abu Nawas lalu berbuat gila atas dirinya, tiada karuan perkataannya. Ujarnya, sambil berangkat, “Ya, Tuanku Raja, terasi asalnya udang.”

Tatkala didengar oleh Raja Harunurrasyid akan perkataan Abu Nawas itu, maka pikirnya, “Heranlah aku melihat kelakuan Abu Nawas berkata tiada karuan ini.” Baginda pun marahlah kepada Abu Nawas itu, lalu disuruhnya tangkap dan dititahkannya sahayanya memukul Abu Nawas dua puluh lima kali.

Setelah sudah, keluarlah Abu Nawas dari dalam kota itu. Ketika ia sampai ke pintu kota yang selapis, Abu Nawas pun ditahan oleh penunggu pintu kota itu serta dimintanya apa-apa perolehannya daripada anugerah Baginda tadi itu. Kata penunggu pintu itu kepada Abu Nawas, “Tempo hari tatkala engkau hendak masuk di sini kita telah berjanji. Sudah lupakah engkau akan perjanjian kita itu? Kalau engkau ada dikaruniai apa-apa oleh Baginda engkau berkata: Aku bagi dua; engkau satu bagian, aku satu bagian. Sekarang mana janjimu itu?”

Maka Abu Nawas ingatlah akan perjanjian tadi itu. Dengan segera diambilnya sepotong kayu yang agak besar, dipukulkannya kepada penunggu pintu kota itu dua puluh lima kali. Bukan kepalang sakitnya. Abu Nawas lalu dilepaskan oleh penunggu pintu ke luar kota, terus pulang ke rumahnya.

Akan tetapi penunggu pintu kota yang dipukuli Abu Nawas itu menghadap kepada Baginda Raja Harunurrasyid, serta sembahnya. “Ya, Tuanku Syah Alam, ampun beribu ampun, ya Syah Alam, hamba datang ini hendak mempersembahkan hal-ihwal Abu Nawas memukul akan patik dua puluh lima kali. Sekarang ini bagaimanakan hukumannya?”

Maka Sultan Harunnurrasyid pun menyuruh sahayanya memanggil Abu Nawas.
Maka berjalanlah ia ke rumah Abu Nawas itu. Sesampainya ke sana, maka katanya, “Adapun Tuan Hamba ini dipersilakan baginda, karena baginda menantikan Tuan hamba.”

Dengan segera Abu Nawas pergi menghadap baginda. Setelah sampai, lalu ia tunduk serta menyembah kaki baginda. Sabda Baginda kepadanya, “Hai Abu Nawas, betulkah engkau yang memukul penunggu pintu kota ini, atau tidak?”

Sahut Abu Nawas, “Ampun Tuanku beribu-ribu ampun, hal itu betul sekali, tiada salah. Hambalah yang memukul dia, sebab hamba sudah berjanji kepadanya, jikalau ada kurnia Tuanku akan hamba, akan kami bagi dua. Hamba satu bagian dan dia satu bagian. Sekarang ini dia minta bagiannya kepada hamba. Maka itulah hamba pukul dia, sebab hamba ingat akan perjanjian hamba kepadanya itu, karena hamba mendapat kurnia Tuanku dua puluh lima jua.”
Sabda Baginda Raja kepada penunggu pintu kota itu, “Hai penunggu pintu kota, betulkan engkau ada berjanji kepadanya demikian itu?”

Sahut orang yang menunggu pintu kota itu, “Ya Tuanku Syah Alam, memang betul hamba ada berjanji kepadanya akan yang demikian itu.”

Sabda Raja Harunurrasyid, Jika demikian, Abu Nawas tiada bersalah sama sekali.”
Maka Abu Nawas pun pulanglah ke rumahnya.

Syahdan maka sabda Raja Harunurrasyid kepada wazirnya, “Hai Lassamana, apa bicaramu dari hal dia akan menjadi penghulu itu.”

Sembah Laksamana, “Demikian Tuanku, baiklah duli Syah Alam dijadikan saja orang-orang lain penghulu itu.”

Dan sembah menteri-menteri yang hadir di hadapan Baginda pada ketika itu pula, “Ya, Tuanku Syah Alam, jikalau sekiranya patik sekalian boleh mengeluarkan bicara, beranilah patik Tuanku sekalian ini membenarkan perkataan laksamana itu, karena pada pikir patik sesungguhnya Abu Nawas itu gila, Tuanku. Pada suatu hari patik bertemu dengan dia sedang menunggang sekerat batang pisang; maka katanya kepada patik, “Hai menteri, ambillah kudaku ini dan pergilah mandikan dan serta beri makan rumut ayam cicak.

Demi mendengar perkataannya itu, patik sekalian pun heran karena perkataan yang demikian ialah perkataan orang gila. Jadi tiadalah layak ia itu Tuanku Syah Alam jadikan kadi.”
Sabda Amirulmukminin, “Benarlah seperti perkataanmu itu. Akan tetapi nantilah dulu kita lihat sampai sepuluh hari, dua puluh hari, karena bapaknya baru saja mati. Jika tiada sembuh, bolehlah kita mencari kadi yang lain.

Adapun Abu Nawas makin hari makin membuat gila dirinya juga. Setelah sampai sebulan lamanya, maka Sultan Harunurrasyid pun hendak menjadikan kadi orang lain. Pada hari itu sekalian orang berhimpunlah di dalam majelis baginda itu, dan Abu Nawas berkatalah seperti ringkik kuda kepada orang yang didekatnya, “Hai gembala kuda, pergilah dan beri makan rumput kuda itu.

Tiba berdatangan sembahlah seseorang yang bernama Polan kepada Amirulmukminin, seraya berkata, “Ya Tuanku Syah Alam jika tuanku berkenen jadikanlah hamba kadi dalam neregi Bagdad ini.

Perkataan si polan itu disokong oleh orang banyak.
Maka hari itu tetaplah sudah ia menjadi kadi di dalam negeri Bagdad. Setelah itu sekalian orang besar dan orang kecil pun kembalilah masing-masing ke rumahnya. Akan Abu Nawas itu teramat suka hatinya, lalu ia mengucap syukur alhamdulillah.

“Lepaslah aku dari bala ini,” katanya.

Abu Nawas: Mengecoh Gajah

Abu Nawas sedang berjalan-jalan santai. Ada kerumunan masa. Abu Nawas bertanya kepada seorang kawan yang kebetulan berjumpa di tengah jalan.

“Ada kerumunan apa di sana?” tanya Abu Nawas

“Pertunjukkan keliling yang melibatkan gajah ajaib.”

“Apa maksudmu dengan gajah ajaib?” kata Abu Nawas ingin tahu.

Gajah yang bisa mengerti bahasa manusia, dan yang lebih menakjubkan adalah gajah itu hanya mau tunduk kepada pemiliknya saja.” kata kawan Abu Nawas menambahkan.

Abu Nawas semakin tertarik. Ia tidak tahan untuk menyaksikan kecerdikan dan keajaiban binatang raksasa itu.

Kini Abu Nawas sudah berada di tengah kerumunan para penonton. Karena begitu banyak penonton yang menyaksikan pertunjukan itu, sang pemilik gajah dengan bangga menawarkan hadiah yang cukup besar bagi siapa saja yang sanggup membuat gajah itu menganggguk-angguk.

Tidak heran bila banyak diantara para penonton mencoba maju satu persatu. Mereka berupaya dengan beragam cara untuk membuat gajah itu mengangguk-angguk, tetapi sia-sia. Gajah itu tetap menggeleng-gelengkan kepala.

Melihat kegigihan gajah itu Abu Nawas semakin penasaran. Hingga ia maju untuk mencoba. Setelah berhadapan dengan binatang itu Abu Nawas bertanya,

“Tahukah engkau siapa aku?” Gajah itu menggeleng.

“Apakah engkau tidak takut kepadaku?” tanya Abu Nawas lagi. Namun gajah tetap menggeleng.

“Apakah engkau takut kepada tuanmu?” tanya Abu Nawas memancing. Gajah itu mulai ragu.

“Bila engkau tetap diam maka akan aku laporkan kepada tuanmu.” lanjut Abu Nawas mulai mengancam. Akhirnya gajah itu terpaksa mengangguk-angguk.

Atas keberhasilan Abu Nawas membuat gajah itu mengangguk-angguk maka ia mendapat hadiah berupa uang yang banyak. Bukan main marah pemilik gajah itu hingga ia memukuli binatang yang malang itu. Pemilik gajah itu malu bukan kepalang. Hari berikutnya ia ingin menebus kekalahannya. Kali ini ia melatih gajahnya mengangguk-angguk.

Bahkan ia mengancam akan menghukum berat gajahnya bila sampai bisa dipancing penonton menggeleng-geleng terutama oleh Abu Nawas. Tak peduli apapun pertanyaan yang diajukan.

Saat-saat yang dinantikan tiba. Kini para penonton yang ingin mencoba, harus sanggup membuat gajah itu menggeleng-gelengkan kepala. Maka seperti hari sebelumnya, banyak para penonton tidak sanggup memaksa gajah itu menggeleng-gelengkan kepala. Setelah tidak ada lagi yang ingin mencobanya, Abu Nawas maju. Ia mengulang pertanyaan yang sama.

“Tahukah engkau siapa daku?” gajah itu mengangguk.

“Apakah engkau tidak takut kepadaku?” gajah itu tetap mengangguk.

“Apakah engkau tidak takut kepada tuanmu?” pancing Abu Nawas. Gajah itu tetap mengangguk karena binatang itu lebih takut terhadap ancaman tuannya daripada Abu Nawas.

Akhirnya Abu Nawas mengeluarkan bungkusan kecil berisi balsam panas.

“Tahukah engkau apa guna balsam ini?” gajah itu tetap mengangguk.

“Baiklah, bolehkah kugosok selangkangmu dengan balsam?” gajah itu mengangguk.

Lalu Abu Nawas menggosok selangkang binatang itu. Tentu saja gajah itu merasa agak kepanasan dan mulai panik.

Kemudian Abu Nawas mengeluarkan bungkusan yang cukup besar. Bungkusan itu juga berisi balsam.

“Maukah engkau bila balsam ini kuhabiskan untuk menggosok selangkangmu?” Abu Nawas mulai mengancam. Gajah itu mulai ketakutan. Dan rupanya ia lupa ancaman tuannya sehingga ia terpaksa menggeleng-gelengkan kepala sambil mundur beberapa langkah.

Abu Nawas dengan kecerdikan dan akalnya yang licin mampu memenangkan sayembara meruntuhkan kegigihan gajah yang dianggap cerdik.

Ah, jangankan seekor gajah, manusia paling pandai saja bisa dikecoh Abu Nawas.

abunawas & jerita-nya

Suatu hari Sultan Harun Al’rashit merasa begitu boring. Kemudian, dia bertanya
Kepada Bendahara, "Bendahara, siapa paling pandai saat ini?"

"Abunawas" jawab Bendahara.

Sultan pun memanggil Abunawas n baginda bertitah: "Kalau kamu pandai, coba
buat satu cerita seratus kata tapi setiap kata mesti dimulai dengan huruf
'J'. kalau kamu bisa, kamu akan saya beri hadiah. tapi, kalau tidak, kamu akan kumasukkan ke dalam penjara selama 10 tahun.”
Terperanjat Abunawas, tapi setelah berfikir, diapun mulai bercerita:

Jeng Juminten janda judes, jelek jerawatan, jari jempolnya jorok. Jeng
juminten jajal jualan jamu jarak jauh Jogya-Jakarta. Jamu jagoannya: jamu
jahe. "Jamu-jamuuu..., jamu jahe-jamu jaheee...!" Juminten jerit-jerit
jajakan jamunya, jelajahi jalanan. Jariknya jatuh, Juminten jatuh
jumpalitan. Jeng Juminten jerit-jerit: "Jarikku jatuh, jarikku jatuh..."
Juminten jengkel, jualan jamunya jungkir-jungkiran, jadi jemu juga. Juminten
jumpa Jack, jejaka Jawa jomblo, juragan jengkol, jantan, juara judo.
Jantungnya Jeng Juminten janda judes jadi jedag-jedug. Juminten janji jera
jualan jamu, jadi julietnya Jack.

Johny justru jadi jelous Juminten jadi juliet-nya Jack. Johny juga jejaka
jomblo, jalang, juga jangkung. Julukannya, Johny Jago Joget. "Jieehhh, Jack
jejaka Jawa, Jum?" joke-nya Johny. Jakunnya jadi jungkat-jungkit jelalatan
jenguk Juminten. "Jangan jealous, John..." jawab Juminten. Jumat, Johny
jambret, jagoannya jembatan Joglo jarinya jawil-jawil jerawatnya Juminten.
Juminten jerit-jerit: "Jack, Jack, Johny jahil, jawil-jawil!!!" Jack
jumping-in jalan, jembatan juga jemuran. Jack jegal Johny, Jebreeet..., Jack
jotos Johny. Jidatnya Johny jenong, jadi jontor juga jendol... jeleekk.
"John, jangan jahilin Juminten...!" jerit Jack... Jantungnya Johny
jedot-jedotan, "Janji, Jack, janji... Johnny jera..." jawab Johny. Juni,
Jack jadikan Johny join jualan jajajan jejer Juminten. Jhony jadi jongosnya
Jack-Juminten, jagain jongko, jualan jus jengkol jajanan jurumudi jurusan
Jogja-Jombang, julukannya Jus Jengkol Johny "jolly-jolly jumper."

Jumpalagi, jek...!!!
jangan joba-joba jikin jerita jayak jini jagi ja...!!! judah...!!!

Hikayat abu nawas dan lelaki kikir

Syahdan,disuatu masa hidup seorang laki2 yang punya sifat kikir (pelit).ia mempunyai sebuah rumah yang cukup besar.didalam rumah itu dia tinggal bersama seorang istri dan 3 orang anaknya yang masih kecil2.laki2 ini merasa rumahnya sudah sangat sempit dengan keberadaannya dan keluarganya.namun,untuk memperluas rumahnya,sang lelaki merasa sayang untuk mengeluarkan uang.ia putar otak bagaimana caranya agar ia bisa memperluas rumahnya tanpa mengeluarkan banyak.akhirnya,ia mendatangi abunawas,seorang cerdik dikampungnya.pergilah ia menuju rumah abu nawas.

si lelaki : “salam hai abunawas,semoga engkau selamat sejahtera.”

abu nawas : “salam juga untukmu hai orang asing,ada apa gerangan kamu mendatangi kediamanku yang reot ini ?”

si lelaki lalu menceritakan masalah yang ia hadapi.abunawas mendengar dengan seksama.setelah si lelaki selesai bercerita,abunawas tampak tepekur sesaat,tersenyum,lalu ia berkata :

“hai fulan,jika kamu menghendaki kediaman yang lebih luas,belilah sepasang ayam,jantan dan betina,lalu buatkan kandang didalam rumahmu.3 hari lagi kau lapor padaku bagaimana keadaan rumahmu.”

si lelaki bingung,apa hubungannya ayam dengan luas rumah,tapi ia tak membantah.sepulang dari rumah abunawas,ia membeli sepasang ayam,lalu membuatkan kandang untuk ayamnya didalam rumah.
3 hari kemudian,ia kembali kekediaman abunawas,dengan wajah berkerut.

abunawas : “bagaimana fulan,sudah bertambah luaskah kediamanmu?”

si lelaki : “boro boro ya abu.apa kamu yakin idemu ini tidak salah?rumahku tambah kacau dengan adanya kedua ekor ayam itu.mereka membuat keributan dan kotorannya berbau tak sedap.”

abu nawas : “( sambil tersenyum ) kalau begitu tambahkan sepasang bebek dan buatkan kandang didalam rumahmu.lalu kembali 3 hari lagi.”

silelaki terperanjat.kemarin ayam sekarang bebek,memangnya rumahnya peternakan?.atau sicerdik abunawas ini sedang kumat jahilnya?namun seperti pertama kali,ia tak berani membantah,karena ingat reputasi abunawas yang selalu berhasil memecahkan berbagai masalah.pergilah ia ke pasar,dibelinya sepasang bebek,lalu dibuatkannya kandang didalam rumahnya.
setelah 3 hari ia kembali menemuai abunawas.

abu nawas : “bagaimana fulan,kediamanmu sedah mulai terasa luas atau belum ?”

si lelaki : “aduh abu,ampun,jangan kau menegerjai aku.saat ini adalah saat paling parah selama aku tinggal dirumah itu.rumahku sekarang sangat mirip pasar unggas,sempit,padat,dan baunya bukan main.”

abunawas : “waah,bagus kalau begitu.tambahkan seekor kambing lagi.buatkan ia kandang didalam rumahmu juga.lalu kembali kesini 3 hari lagi.”

si lelaki : “apa kau sudah gila abu ?kemarin ayam,bebek dan sekarang kambing.apa tidak ada cara lain yang lebih normal?”

abunawas : “lakukan saja,jangan membantah.”

lelaki itu tertunduk lesu,bagaimanapun juga yang memberi ide adalah abunawas,sicerdik pandai yang tersohor.maka dengan pasrah pergilah ia ke pasar dan membeli seekor kambing,lalu ia membuatkan kandang didalam rumahnya.

3 hari kemudian dia kembali menemui abunawas

abunawas : “bagaimana fulan ? sudah membesarkah kediamanmu ?”

si lelaki : “rumahku sekarang benar2 sudah jadi neraka.istriku mengomel sepanjang hari,anak2 menangis, semua hewan2 berkotek dan mengembik,bau,panas,sumpek,betul2 parah ya abu.tolong aku abu,jangan suruh aku beli sapi dan mengandangkannya dirumahku,aku tak sanggup ya abu.”

abu nawas : “baiklah,kalau begitu,pulanglah kamu,lalu juallah kambingmu kepasar,besok kau kembali untuk menceritakan keadaan rumahmu.”

si lelaki pulang sambil bertanya2 dalam hatinya,kemarin disuruh beli,sekarang disuruh jual,apa maunya si abunawas.namun,ia tetap menjual kambingnya kepasar.keesokan harinya ia kembali kerumah abunawas.

abu nawas : “bagaimana kondisi rumahmu hari ini ?”

si lelaki :”yah,lumayan lah abu,paling tidak bau dari kambing dan suara embikannya yang berisik sudah tak kudengar lagi.”
abu nawas : “kalau begitu juallah bebek2mu hari ini,besok kau kembali kemari”

si lelaki pulang kerumahnya dan menjual bebek2nya kepasar.esok harinya ia kembali kerumah abunawas

abunawas : “jadi,bagaimana kondisi rumahmu hari ini?”

si lelaki : “syukurlah abu,dengan perginya bebek2 itu,rumahku jadi jauh lebih tenang dan tidak terlalu sumpek dan bau lagi.anak2ku juga sudah mulai berhenti menangis.”

abunawas.bagus.”kini juallah ayam2mu kepasar dan kembali besok ”

si lelaki pulang dan menjual ayam2nya kepasar.keesokan harinya ia kembali dengan wajah yang berseri2 kerumah abunawas

abunawas : “kulihat wajahmu cerah hai fulan,bagaimana kondisi rumahmu saat ini?”

si lelaki :”alhamdulillah ya abu,sekarang rasanya rumahku sangat lega karena ayam dan kandangnya sudah tidak ada.kini istriku sudah tidak marah2 lagi,anak2ku juga sudah tidak rewel.”

abunawas : “(sambil tersenyum) nah nah,kau lihat kan,sekarang rumahmu sudah menjadi luas padahal kau tidak menambah bangunan apapun atau memperluas tanah banguanmu.sesungguhnya rumahmu itu cukup luas,hanya hatimu sempit sehingga kau tak melihat betapa luasnya rumahmu.mulai sekarang kau harus lebih banyak bersyukur karena masih banyak orang yang rumahnya lebih sempit darimu.sekarang pulanglah kamu,dan atur rumah tanggamu,dan banyak2lah bersyukur atas apa yang dirizkikan tuhan padamu,dan jangan banyak mengeluh.”

silelaki pun termenung sadar atas segala kekeliruannya,ia terpana akan kecendikiaan sang tokoh dan mengucap terima kasih pada abunawas…

Riwayat Sejarah Sang Legenda : Abunawas

Ilahi lastu lilfirdausi ahla wala aqwa 'ala naril jahimi Fahab li tawbatan waghfir dzunubi fainaka ghafirud dzanbil adzimi.


Senandung syair yang menyentuh hati itu mengalun begitu merdu. Sembari menunggu datangnya shalat Maghrib dan Subuh, para jamaah shalat kerap melantunkan syair itu dengan syahdu di mushala dan masjid. Meski syair itu telah berumur hampir 11 abad, namun tampaknya tetap akan abadi.

Syair pengingat dosa dan kematian itu boleh dibilang begitu melegenda, seperti nama besar pengarangnya Abu Nuwas yang hingga kini tetap dikenang dan diperbincangkan. Abu Nuwas atau Abu Nawas adalah seorang penyair Islam termasyhur di era kejayaan Islam.

Orang Indonesia begitu akrab dengan sosok Abu Nuwas lewat cerita-cerita humor bijak dan sufi. Sejatinya, penyair yang bernama lengkap Abu Nuwas Al-Hasan bin Hini Al-Hakami itu memang seorang humoris yang lihai dan cerdik dalam mengemas kritik berbungkus humor.

Penyair yang dikenal cerdik dan nyentrik itu tak diketahui secara pasti tempat dan waktu kelahirannya. Diperkirakan, Abu Nuwas terlahir antara tahun 747 hingga 762 M. Ada yang menyebut tanah kelahirannya di Damaskus, ada pula yang meyakini Abu Nuwas berasal dari Bursa. Versi lainnya menyebutkan dia lahir di Ahwaz.

Yang jelas, Ayahnya bernama Hani seorang anggota tentara Marwan bin Muhammad atau Marwan II- Khalifah terakhir bani Umayyah di Damaskus. Sedangkan ibunya bernama Golban atau Jelleban seorang penenun yang berasal dari Persia. Sejak lahir hingga tutup usia, Abu Nuwas tak pernah bertemu dengan sang ayah.

Ketika masih kecil, sang ibu menjualnya kepada seorang penjaga toko dari Yaman bernama, Sa'ad Al-Yashira. Abu Nuwas muda bekerja di toko grosir milik tuannya di Basra, Irak. Sejak remaja, otak Abu Nuwas yang encer menarik perhatian Walibah ibnu A-Hubab, seorang penulis puisi berambut pirang. Al-Hubab pun memutuskan untuk membeli dan membebaskan Abu Nuwas dari tuannya.

Sejak itu, Abu Nuwas pun terbebas dari statusnya sebagai budak belian. Al-Hubab pun mengajarinya teologi dan tata bahasa. Abu Nuwas juga diajari menulis puisi. Sejak itulah, Abu Nuwas begitu tertarik dengan dunia sastra. Ia kemudian banyak menimba ilmu dari seorang penyair Arab bernama Khalaf Al-Ahmar di Kufah.

Sang guru memerintahkannya untuk berdiam di padang pasir bersama orang-orang badui untuk mendalami dan memperhalus pengetahuan bahasa Arabnya selama satu tahun. Setelah itu, dia hijrah ke Baghdad yang merupakan metropolis intelektual abad pertengahan di era kepemimpinan Khalifah Harun Ar-Rasyid.

Sebagai penyair yang nyentrik, masa mudanya penuh dengan gaya hidup yang kontroversial, sehingga membuat Abu Nawas tampil sebagai tokoh yang unik dalam khazanah sastra Arab Islam. Ketika masih muda, puisi-puisi yang dikarangnya kerap diinspirasi khammar (minuman keras), salah satunya khumrayat (penggambaran minuman keras). Adalah Dr Muhammad al-Nuwaihi dalam kitabnya Nafsiyyat Abi Nuwas menyebutkan Abu Nawas sangat tergantung pada minuman keras.

Sebagai penyair, tingkah laku Abu Nawas bisa disebut aneh, bahkan slebor. Tingkah lakunya membuat orang selalu mengaitkan karyanya dengan gejolak jiwanya. Ditambah sikapnya yang jenaka, perjalanan hidupnya benar-benar penuh warna. Namun, di mata Ismail bin Nubakht Abu Nuwas adalah seorang yang cerdas dan kaya pengetahuan.

''Saya tak pernah melihat orang yang mau belajar lebih luas dibanding Abu Nuwas. Tak ada seorang pun. Dengan ingatan yang sangat kaya, namun koleksi bukunya sangat sedikit. Setelah dia tutup usia, kami mencari rumahnya dan hanya menemukan sebuah buku di rumahnya,'' papar Ismail bin Nubakht dalam catatannya.

Berbekal kepiawaiannya menulis puisi, Abu Nawas bisa berkenalan dengan para pangeran. Sejak dekat para bangsawan, puisi-puisinya berubah memuja penguasa. Dalam kitab Al-Wasith fil Adabil 'Arabi wa Tarikhihi, Abu Nawas digambarkan sebagai penyair multivisi, penuh canda, berlidah tajam, pengkhayal ulung, dan tokoh terkemuka sastrawan angkatan baru.

Karir Abu Nuwas di dunia sastra pun makin kinclong setelah kepandaiannya menulis puisi menarik perhatian Khalifah Harun Al-Rasyid. Melalui perantara musikus istana, Ishaq al-Wawsuli, Abu Nawas akhirnya didapuk menjadi penyair istana (sya'irul bilad). Abu Nawas pun diangkat sebagai pendekar para penyair. Tugasnya menggubah puisi puji-pujian untuk khalifah.

Kegemarannya bermain kata-kata dengan selera humor yang tinggi membuatnya menjadi seorang legenda. Namanya juga tercantum dalam dongeng 1001 malam. Meski sering ngocol, ia adalah sosok yang jujur. Tak heran, bila dia disejajarkan dengan tokoh-tokoh penting dalam khazanah keilmuan Islam.

Kedekatannya dengan khalifah berakhir di penjara. Suatu ketika Abu Nawas membaca puisi Kafilah Bani Mudhar yang membuat khalifah tersinggung dan murka. Ia lantas di penjara. Setelah bebas, dia mengabdi kepada Perdana Menteri Barmak. Ia hengkang dari Baghdad setelah kejayaan Barmak jatuh pada tahun 803 M. Setelah itu, ia hijrah ke Mesir dan menggubah puisi untuk Gubernur Mesir, Khasib bin Abdul Hamid al-Ajami. Abu Nuwas akhirnya kembali lagi ke Baghdad, setelah Harun al-Rasyid meninggal dan digantikan Al-Amin.

Sejak mendekam di penjara, puisi-puisi Abu Nawas berubah menjadi religius. Kepongahan dan aroma kendi tuaknya meluntur, seiring dengan kepasrahannya kepada kekuasaan Allah. Syair-syairnya tentang pertobatan bisa dipahami sebagai salah satu ungkapan rasa keagamaannya yang tinggi.

Sajak-sajak tobatnya bisa ditafsirkan sebagai jalan panjang menuju Tuhan. Puisi serta syair yang diciptakannya menggambarkan perjalanan spiritualnya mencari hakikat Allah. Kehidupan rohaniahnya terbilang berliku dan mengharukan. Setelah 'menemukan' Allah, inspirasi puisinya bukan lagi khamar, melainkan nilai-nilai ketuhanan. Di akhir hayatnya, ia menjalani hidup zuhud. Seperti tahun kelahirannya yang tak jelas, tahun kematiannya terdapat beragam versi antara 806 M hingga 814 M. Ia dimakamkan di Syunizi, jantung Kota Baghdad.